Selasa, 27 Desember 2011

BERTEMAN VS SANDIWARA


Semakin berkualitas pilihan-pilihan seseorang dalam persahabatan dan pekerjaannya, akan semakin baik hidupnya.

Penggalan kalimat diatas adalah sebagian keluh kesah ku akan sebuah pertemanan. Aku adalah orang yang pernah terjatuh dan memilih untuk menyepi tanpa pernah tersadari kalau jauh dari lubuk hati ku terdalam aku butuh seseorang yang senantiasa memberi ku extra spirit untuk melanjutkan hidup. Semua kesendirian itu berawal dari satu kisah yang dramatis yang aku sendiri malas untuk terus mengingatnya.

Juha Juwiyanti dan Dini, dua teman masa kecil yang lama sekali tak terdengar kabarnya setelah keluarga ku memutuskan untuk pindah dari Labuan, Banten. Orang tua ku memutuskan bahwa kami akan pindah ke Jakarta, ibu kota negara yang sama sekali tak ku kenal. Rasa ku senang campur sedih, senang karena akan ada teman baru sedih karena harus meninggalkan sahabat terkasih ku disini. Bertahun-tahun tak bertemu akhirnya kami kembali dipertemukan disini, diriuhnya ibu kota tercinta. Sayang, hanya momen terpenting dalam hidup kami yang sanggup menyatukan kebersamaan kami, selebihnya, rutinitas adalah titik paling menyebalkan yang membuat waktu terasa begitu sesak untuk kami sekedar berkumpul.

Satu hal yang selalu teringat, bahwa kenangan itu tak hanya sanggup kami kenang, tapi sekalipun waktu sudah membunuh kebersamaan kami, hati kami tetap terselimuti titik kasih yang tak pernah henti memikirkan bahwa kami adalah sahabat yang tak pernah lekang oleh waktu.

Apriyanti, teman pertama saat aku menginjakan kaki di ibu kota. Hari-hari kebersamaan kami begitu indah, terlalu banyak hal yang tak sanggup kami lupa, sekalipun kini kami tak lagi bersama, tapi kami selalu sanggup mengingat semua kekonyolan-kekonyolan masa kecil kami yang indah.

Tak sanggup aku satu detik pun menghilangkan setiap hal indah yang kami lakukan bersama layaknya anak kecil yang selalu saja ingin tahu tanpa perduli resiko didepannya. Apri adalah teman, sahabat dan bahkan kakak terbaik untuk ku. Sekalipun kerinduan ku pada intan kakak ku tak pernah surut, apri tetap teman terbaik untuk ku.

Renita, Ayu, Mila dan Iphat, mereka adalah teman-teman yang selalu menemani hari-hari ku. Banyak hal yang sudah kami rangkai bersama. Semua sulit terlupa dan selalu saja ingin mengenangnya. Masa-masa kebersamaan kami tak sesingkat cerita ku tentang mereka, tapi apapun yang terjadi pada ku saat ini, sedikit banyak adalah apa yang sempat terlalui bersama mereka.

Athi, satu teman yang berubah menjadi seperti keluarga sendiri. Kebersamaan kami tak ubahnya seperti kakak beradik yang saling melindungi saling menyayangi. Sayangnya semua tercoreng hanya karena satu hal, ketidak jujuran. Kalau saja Athi jujur apa yang sudah menimpanya, mungkin hubungan kami tetap baik-baik saja, tapi walau begitu, tak ada yang berubah dari kami, kami masih tetap berteman sekalipun tak seindah masa yang telah lalu. Harap ku satu, semua akan kembali seperti hari-hari sebelumnya.

Kembar ku, sisca dan sisco, kenangan-kenangan yang terukir membuat hubungan kami pun semakin erat. Lama tak bertemu pun tak merubah keadaan menjadi lebih buruk. Semakin panjang usia pertemanan kami semakin jelas apa saja yang sudah seharusnya kami tanggalkan.

Dari pertemanan biasa berubah menjadi luar biasa, bahkan teman-teman terdekat kami telah menjadi teman kami berikutnya. Lagi-lagi seiring kedekatan kami membuat kami jadi semakin tahu satu sama lain. Semua hal baik dan buruk tumbuh menjadi satu hal yang tak terpisahkan. Satu momen merusak momen-momen selanjutnya yang sudah kami rancang bersama. Semua hanya karena satu hal, kesalahfahaman.

Satu kali kami merancang satu kisah yang indah, kami ingin liburan kami menjadi titik awal semakin eratnya hubungan kami. Apa daya, dari awal kami sudah tidak saling percaya dan saling merasa diri paling benar. Kami tak punya kuasa untuk saling menahan ego, kami benar-benar saling menunjukkan ego kami, sampai akhirnya dititik terendah ego kami sanggup membuat dinding pemisah yang begitu curam, kami tak lagi saling satu, kami memutuskan untuk saling berjauhan. Bukan karena kami saling benci, tapi semua karena kami tak ingin saling menyakiti.

Aku rindu titik kebersamaan kami yang telah lalu, tapi apa daya, semua sudah menjadi seperti yang tampak sekarang. Sebesar apapun kami berusaha memperbaiki sebesar itu pula jurang pemisah tercipta. Aku hanya sanggup berharap, kalau suatu hari dinding itu akan terkikis sedikit demi sedikit sampai kami sanggup untuk meraih apapun yang kami ingin beriringan.

Rizky, Enna, dan Ririn, tiga teman asyik yang selalu ada disetiap nestapa, betapa tidak, disaat aku terjatuh mereka tak pernah lupa untuk mengangkat ku, baik secara nyata maupun hanya sebongkah kata. Ini luar biasa bagi ku, disaat aku berceloteh “tidak ada gunanya aku berteman, mereka hanya akan lebih dalam kehilangan bila ingin berteman lebih jauh dengan pesakitan macam aku” tapi yang aku tahu, mereka setia menemani ku apapun yang terjadi.

Kita pernah merasa kehilangan saat Rizky memutuskan untuk pindah ke kota kecil di Kalimantan, disinilah konflik itu terjadi, kita tak lagi satu arah satu tujuan, kita sudah dengan isi kepala masing-masing, tapi kita tetap bersama sekalipun hanya disaat duka. Dua tahun kami merasa kehilangan seorang teman termuda yang tak akan pernah kami lupa. Terlalu banyak kenakalan yang kami lakukan yang tak mungkin sanggup terhapus waktu, apapun adanya kami, kami adalah sahabat yang tak akan lekang sampai kapanpun.

Kami kembali dipersatukan tepat dihari ulang tahun kebersamaan kita, 5 Juli 2001, setelah satu tahun bersama, dua tahun terpisahkan. Kami bertemu disaat kami sama-sama tengah disibukkan untuk bergerilya mengejar cita. Disetiap pertemuan kami, ada satu momen dimana momen itu tak akan sirna begitu saja dari kepala kami, satu momen luar biasa yang akan selalu kami kenang sepanjang masa.

Waktu itu kami masih sama-sama remaja belia yang selalu sok tahu, janji bertemu dilobby sekolah untuk sekedar menjadi bolang, waktu menunjukan tepat pukul 06:30 AM, bersama kami tempuh perjalanan dari Cijantung menuju kawasan elite Pondok Indah, tujuan kami adalah salah satu Mall besar yang bertengger disana, waktu itu Mall tersebut belum jadi dua. Tepat jam 07:00 AM kami sudah tiba di Mall tersebut, tercengangnya kami karena begitu masuk pintu Mall tak satu pun toko yang buka, kami pun tertawa terpingkal-pingkal karena menyadari ke sok tauan kami ini berakibat kami harus menunggu lama dan menciptakan hal seru demi membunuh waktu.

Itu hal konyol tapi itu pula yang membuat kami yakin bahwa kami adalah sahabat sejati. Sejati karena kami yakin apapun yang terjadi didepan, kami tetap satu hati.

Waktu terus berlalu tanpa pernah disadari. Kami tumbuh menjadi manusia dewasa yang pada akhirnya harus menjalani rutinitas yang luar biasa padatnya. Sampai akhirnya satu persatu dari kami mulai memutuskan untuk hidup berumah tangga layaknya manusia dewasa lainnya. Disinilah drama geng asyik tertanggalkan, hukum alam memilih bahwa kami tak lagi sanggup berjalan seiringan. Kami tak sanggup membuat pertemanan kami menjadi pertemanan untuk generasi kami, pada akhirnya kami memang harus memilih, memilih antara rutinitas atau quality time bersama sahabat.

Setelah Enna menikah kami kontan kehilangan sosok Enna, bahkan tak setitik pun kabar kami dapat darinya. Tak hanya Enna, Ririn pun turut menghilang bak ditelan bumi, seandainya ada kabar, itupun hanya berita sekadarnya. Aku kehilangan dua sahabat terbaik ku, entah dimana kini mereka berada, sehat kah? Atau sakitkah? Sungguh aku tak tahu.

Berbeda dengan Rizky, kami masih saling bertukar kisah, bahkan semakin erat saja persahabatan kami, erat karena disetiap kesibukan kami selalu berkomunikasi dengan baik, hubungan ku dengan suami dan anak-anak Rizky pun semakin erat, cuma kami yang akhirnya semakin hari semakin menjadi satu kesatuan utuh, sekalipun dalam perjalanannya kami sering kali bertanya, ingin rasanya kembali ke masa lalu, masa-masa dimana kami masih seiring sejalan tak terpisahkan. Semoga satu hari nanti kami kembali dipersatukan.

Kenya, Dito, Dora dan Dwi, teman terbaik yang selalu baik apapun yang terjadi diseputar ku. Pertemanan kami sungguh dramatis. Bermula dari aku dan Dito yang pesakitan, sampai episode demi episode kisah cinta antara Kenya dengan pria-prianya, Dora dengan Toni Tono nya dan Dwi dengan manusia menyebalkan tapi tetap kuat bertahan. Semua penuh dengan isak tangis, pertengkaran tetapi sanggup berakhir bahagia.

Hal yang paling dramatis dalam pertemanan kami adalah sakitnya aku dan Dito, lebih banyak aku. Setiap kali menjelang ujian aku pasti sakit dan masuk rumah sakit, alhasil setiap kali ujian aku pasti ditemani suster yang setia menjaga ku. Benar-benar pertemanan yang luar biasa, karena kami saling mengingatkan dan saling menjaga. Aku yang paling bungsu diantara mereka tapi aku juga yang paling ternakal sekalipun kami semua memiliki kenakalan yang sama.

Dito, satu-satunya orang yang sanggup merubah segala hal tentang ku, perlahan namun pasti, Dito selalu terobsesi untuk membuat ku berubah. Aku adalah salah satu anak yang gemar berorganisasi tapi sanggup mengabaikan kuliah ku. Tapi Dito sanggup mengubah ku untuk tetap berorganisasi tanpa mengabaikan kuliah. Susah payah Dito merubah nilai ku dari “nasakom” ke “baik”. Entah mengapa aku sendiri tak mengerti mengapa Dito sampai sebegitu inginnya mengubah ku. Satu hal yang aku ingat dari alasannya itu, “gue tau loe bukan orang bodoh, orang bodoh gak mungkin dipercaya untuk jadi seorang ketua divisi di keluarga intelektual muda salah satu partai nasional ternama yang bertengger di era orde baru, karena itu gue mau loe bisa selesaikan kuliah loe tepat pada waktunya”. Terharu campur stress aku mendengar pernyataannya. Aku ketua divisi di kantor pusat salah satu partai, kerja ku memantau kinerja daerah, aku juga harus pontang panting menyelesaikan kuliah yang tidak semudah aku membalikkan telapak tangan.

Dari seorang Dito lah aku yang sama sekali tak pernah ada waktu untuk belajar menjadi seorang anak yang tiba-tiba saja tak hanya jadi gemar belajar, tapi juga kuliah. Dari kegemaran baru ku, akhirnya perlahan ucapan dito terbukti, aku dipercaya menjadi wakil para dosen yang berhalangan hadir untuk menggantikannya, atau nilai ku berubah menjadi fantastis. Dari Dito aku tahu sejauh mana aku mampu. Banyak hal yang membuat ku yakin bahwa Dito tidak hanya menjadi teman terbaik, tapi juga penasehat terbaik yang selalu menenangkan hati.

Dito adalah simbol perjuangan melawan sakit yang diderita, Dito adalah simbol pantang menyerah. Darinya aku yakin aku bisa, darinya aku yakin aku sanggup mengukir sejarah. Dito adalah teman yang bukan hanya sekedar teman, aku mungkin saja rela kehilangan yang lainnya tapi tidak untuk seseorang yang menjadikan aku luar biasa seperti sekarang ini. Sejarah ku berubah baik karena keyakinannya bahwa aku mampu membuat hidup ku lebih baik.

Astri, Freddy dan masih dengan Dito. Geng PI yang selalu sibuk tapi tetap satu hati. Hal paling aneh yang sering terjadi dengan kami adalah kalau satu dari kami sakit pasti kami akan sakit secara bersamaan. Untunglah kami bukan berasal dari satu keluarga yang sama, kalau kami satu keluarga, sulit dibayangkan betapa repotnya orang tua kami.

Dalam berteman kami memiliki satu visi dan misi yang sama. Kami selalu akan menghormati setiap keputusan hidup yang tergariskan tanpa harus mencampuri apa yang seharusnya tak kami campuri. Dari saling menghormati inilah kami sanggup bertahan tanpa konflik sampai dengan sekarang ini. Sekalipun kami semua terpisah ruang dan waktu, tapi itu tak merubah semakin eratnya hubungan pertemanan kami.

Sekalipun kami jarang bertemu tapi disetiap pertemuan singkat kami, semua akan berjalan dengan kualitas pertemuan yang sanggup menghapus luka dan selalu saja ada tawa yang menghiasi setiap indahnya kebersamaan kami.

Selain dengan geng PI, masih ada Ze, Yan, Sufei, Ingrid, Linyuk, Bibie, Imel, lisa dan teman-teman paduan suara tarumanagara lainnya yang selalu membuat hari-hari ku penuh warna. Mereka tak ubahnya seperti saudara ku sendiri. Sekalipun drama pertemanan kami selalu nampak cantik dan mengharu biru tapi kami seolah tak terpisahkan. Ikatan kami terlalu kuat tak terpisahkan, sekalipun kesibukan kami telah membunuh waktu kebersamaan secara perlahan, tapi kami selalu tidak pernah kehilangan arah untuk selalu tahu apa saja kisah-kisah selama kami tidak bersama.

Babak-babak pertemanan ku diatas adalah bagian episode pertemanan yang terbaik yang pernah aku raih, karena aku merasa episode pertemanan ku berikutnya semua kisah seperti cerita indah sandiwara sebuah sinetron. Aku tahu, dunia ini memang panggung sandiwara, tapi apa dalam berteman pun kita harus selalu membuat cerita-cerita yang seharusnya tak perlu? Aku sendiri tercengang, mengapa harus seperti ini? Bukankah kita teman? Teman dalam satu idola, teman satu karya nyata.

Awalnya semua tampak indah, tapi sayang itu hanya diawal. Terlalu banyak hal yang harus dijaga membuat pertemanan jadi begitu kaku. Sampai akhirnya tanpa disadari kami sudah saling menyakiti. Dan episode saling menyakiti itu tak pernah sanggup terbaca oleh orang yang menyakiti. Satu contoh, kami berteman begitu erat, kemana-mana bersama, tertawa riang bersama, sekedar melihat idola pun bersama, tapi selalu saja terselip sebuah cerita yang luar biasa setelahnya. Entah hanya hal sepele drama penjemputan, atau kisah mobil tua yang dirasa tak menunjukan sisi bersahabat dengan waktu sampai tidak disadari bahwa celetukan demi celetukan yang terlontar dari sekedar sebuah pepesan kosong sanggup menjadi drama luar biasa. Atau kedekatan dengan sang idola, episode ini yang sering kali membuat perpecahan. Entah karena iri, atau tak suka karena “ia” lebih dulu dekat.

Usia antara aku dan mereka terpaut sungguh jauh, tapi tragisnya aku selalu merasa mereka yang tua ingin kembali kemasa kecil sedangkan aku atau teman-teman yang lebih muda selalu ingin menjadi lebih dewasa. Entah siapa yang salah dan siapa yang benar, yang ku tahu hanya satu, apakah sebuah pertemanan yang tulus harus dengan cara merekayasa aneka kata agar menjadi penuh pesona, apakah tak ada upaya agar setiap kata yang diucapkan adalah kejujuran? Minimal kita jujur dalam berteman.

Sungguh aku muak dengan semua ini, ingin rasanya menjauh lalu pergi. Hal terindah yang ku rindu disaat seperti ini adalah menikmati kesendirian, karena hanya dengan menikmati kesendirian kita sanggup membangun surga untuk diri kita sendiri.
Aku sendiri heran dengan semua yang terjadi akhir-akhir ini. Kita tak pernah ada waktu untuk mengenali terlebih dahulu sebelum menilai, padahal kita sama-sama tahu bahwa apa yang tampak indah tak selalu indah, dan apa yang tampak buruk tak selalu buruk. Seiring berjalannya waktu, hanya karena dalil tak ingin menyakiti perasaan satu sama lain, kita ingin terlihat sanggup penuhi apa yang teman kita inginkan, dan tanpa disadari, kita sendirilah yang akan terluka. Padahal hakekat dari sebuah pertemanan adalah sanggup memahami apapun yang tak akan pernah terlihat.

Terlalu banyak sudah kita menjudge seseorang tanpa meneliti sebelumnya, padahal kita sama-sama tahu, apapun yang sudah kita duga kita tak ubahnya seperti seseorang yang sudah menuduh tanpa bukti, padahal kita faham betul, bahwa menuduh tanpa bukti sama halnya seperti fitnah yang katanya lebih kejam dari pada membunuh.

Kalau sudah terlibat konflik yang sulit terfikirkan secara kasat mata, yang aku ingin hanya satu, “maafkan aku diriku”. Sampai akhirnya aku sanggup sekedar berfikir bijak, dari sebuah pertemanan yang luar biasa ini, aku sanggup belajar, belajar untuk berlari bersama, jatuh dan kemudian bangkit untuk berlari lagi bersama. Karena yang bisa ku lakukan sekarang hanyalah mensyukuri luka syukuri derita karena hanya dengan begitu kita akan semakin kuat menghadapi hidup yang lagi-lagi tak bisa dibilang mudah, karena hanya dengan itu kita tahu bahwa bersyukur atas segala hal yang kita hadapi sekarang adalah salah satu tujuan Tuhan menyayangi kita.

===== arestya =====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar