Kamis, 29 Oktober 2009

Bulak Sereh,17.09.2009

ini kisah ku pada malam" yg akan selalu menghempas ku perlahan. aku terhempas karena aku begitu nista,, nista yg berujung sepinya hati. bukan semata" karena aku telah ditinggalkan,, tapi semua karena akulah yg kini sengaja dihempaskan. semua orang terasa begitu menghakimi,, sekalipun mereka tahu,, aku tak sepenuhnya bersalah,, aku hanya manusia biasa yg ingin merasa bahagia.

aku tahu,, aku tak sebaik orang" yg dirasa begitu baik,, aku masih perlu proses untuk menuju kearah yg lebih baik lagi,, bukan karena aku egois dan hanya mementingkan hidup ku sendiri,, bukan!!! sungguh bukan itu yg ku cari. aku hanya ingin sedikit merasa bahagia!!! bahagia!!! sedikit saja rasa bahagia!!! itu saja!!!

kalau memang kata bahagia sulit ku genggam walau setitik,, aku bersumpah,, aku akan melakukan apapun yg kalian mau. aku akan rela menanggalkan bahagia ku sendiri.

siapa yg mau kisahnya seperti ku??? aku rasa kisah ini tak mau seorangpun dihampiri,, aku saja malu dengan diri ku sendiri,, itu yg membuat ku selalu akan membela diri. aku tahu,, aku hanyalah manusia hina,, tapi aku tak mau seorangpun menghakimi!!! yg sudah terjadi biarkan begitu adanya,, jangan coba dituangkan lagi!!! setetes saja mengalir,, hancur rasanya diri ini!!!

aku ingin seperti yg lainnya,, semua terasa begitu sempurna,, sayang... semua hanya angan!!! tak satupun orang yg mau mengangkat hati ku menjadi jauh lebih baik. aku tahu,, semua orang disekeliling ku hanya menganggap aku manusia pembangkang,, tapi itu tak sepenuhnya aku. jauhkan aku dari segala hal yg membuat ku nista. percayalah aku sudah mulai berubah,, bukan menjadi aku yg dulu,, tapi menjadi aku yg sekarang!!!

bantu aku menyingkirkan sebongkah kata rapuh ini,, biarkan aku perbaiki segalanya,, jangan dulu menghakimi,, aku bukan orang jahat!!! sungguh!!! aku bukan orang jahat!!! jangan dulu menghakimi!!!

tak ada satu titikpun hasrat untuk ku membangkang. aku hanya mulai lelah,, lelah dengan segala hal yg menyirat hancurnya jiwa. aku hanya tak ingin mengingatnya lebih jauh. sungguh!!! aku mulai merasa muak dengan segala bentuk masa lalu muram itu.

ini hari ku,, hari yg ku untai dengan ruang ku sendiri. sudah ku tutup kisah muram itu. tolong,, hargai hari baru ku ini,, jangan ungkap lagi kisah lalu itu. biarkan kisah itu menjadi kasanova yg sungguh tak patut untuk sedikitpun ku ingat lagi.

Bulak Sereh, 21.06.2009

apa yang tersirat dari malam,, sunyinya begitu menyayat hati. Sendiri disini ku coba menyingkap malam sunyi yg begitu pekat,, sepekat kerlip bintang ditengah guntur yg menghadang.

Aku akan terus sendiri disini dan tetap menyendiri, aku muak dengan hangatnya kata bersama,, semuak ombak yg sanggup menerjang luar biasa. Aku tahu,, hidup ku akan berujung sepi bila sendiri,, tapi buat ku,, hanya ini yg terbaik untuk hati,, apa arti kawan bila berujung jadi lawan?? Inilah yg terjadi,, inilah kisah yg benar" menyayat hati.

Aku akan menutup seluruh panca indera ku dari kata sahabat!!! buat ku,, hanya hati sahabat yg tak akan pernah mati. Untuk apa bersahabat kalau batin tetap saja merasa kesepian??? bukankah sahabat selalu akan ada dlm suka maupun duka tanpa harus menghakimi???

Aku yg selalu diterjang prahara begitu menyayat hati,, tetapi tak ada satu orangpun mau mengerti. Buat mereka,, luka hati ku sanggup terbeli oleh tawa yg mereka alunkan disaat aku berduka. Sayangnya tawa itu membuat ku semakin terluka,, aku berfikir suatu hal yg harusnya tak ku fikirkan,, tapi inilah yg tersirat dari hati. Tawa mereka hanyalah milik mereka,, sedangkan aku?? aku hanyalah budak yg melengkapi indah alunan tawa mereka.

Aku benar" muak dengan apa yg tengah melintas. Aku muak harus hidup seperti ini,, hidup menyendiri dalam kesunyian lalu menghilang di pekatnya malam.

==============================

jiwa ku melayang-layang jauh
mencoba meraih kerlip bintang
singgah sesaat menikmati suasana
indah naungan cahaya gelap malam

jiwa ku terus saja melayang
tinggalkan segala kebisuan
kebisuan seolah kata sabar
tetapi begitu menyakitkan

sampai kapan jiwa ku melayang
ku tahu hidup begitu rawan
berjuangpun seakan tak ada guna
akupun harus terus melayang

melayang
melayang
tinggi ku diangkasa
mencoba meraih tinggalkan segalanya

tertatih gairah hati ku melayang
aku harus tetap tinggi mengawang
setidaknya sampai ku tersadar
tak selamanya hidupku menerawang

========================

tak perduli apa yg akan terjadi
aku disini,, kan tetap disini
silahkan tentukan jalan mu sendiri
ku tetap disini tak perlu menanti

aku hanya manusia tak penuh arti
kisah ku pun terlalu kini
biarkan aku sendiri disini
aku yg akan tentukan arah ku menanti


Senin, 11 Mei 2009

untuk mereka yg menyebut dirinya orang tua !!!!


hak orang tua begitu besar mendidik anaknya
tapi pukulan demi pukulan itu salah...
trauma yang mereka hadapi lebih berat dari pukulan yang mereka terima, karena mereka tak mau disebut anak durhaka...

haruskah orang tua selalu memukul anaknya???
anak memang sepenuhnya milik orang tua, karena tanpa orang tua, satupun anak tidak akan hadir...

orang tua adalah segalanya bagi anak, tapi trauma anak sepanjang hidupnya...
mengertilah...
hidup didunia ini terlalu kejam untuk dicapai...
jangan tambah beban mereka dengan trauma yang tiada henti...

cukup & hentikan!!!!
percayalah...
seorang anak akan selalu berhutang pada orang tuanya...
jangan tambah hutang mereka dengan trauma itu...

separah apapun kesalahan mereka, yang mereka tahu cuma satu...
membahagiakan orang tuanya dengan cara apapun...

------------------------------------------------------------------------------

pukulan ini bukan yang pertama singgah...
sepanjang usia ku pasti akan selalu singgah...
percaya???
memar yang ku terima tak lagi dibadan...
lukanya telah sampai didada...
entah sebelah mana...

------------------------------------------------------------------------------

terima kasih atas segalanya... ibu...
terima kasih atas segalanya... bapak...
maaf mengecewakan...
tapi ini aku, bukan dia & mereka...
aku akan tetap menjadi aku
mungkin terlalu nakal, tapi inilah aku
anak pembangkang itu???
tak ada yang bisa dibanggakan
itulah aku...
anak egois itu!!!
sampai kapanpun aku bukanlah anak yg bisa dibanggakan...
singkirkan beban dipundak ku itu, karena aku telah rapuh...
bukan aku tak berusaha...
tapi aku telah menghentikan segalanya...
inilah aku...
anak terbodoh itu!!!
anak yang telah lalai dengan pendidikannya...
walau aku tahu, bukan hanya aku yang lalai...
jangan samakan aku dengan yg lain...
akulah yang berbeda...
usaha yang ku untai telah begitu sia-sia
kini aku faham, usaha bukan awal yang membahagiakan...
aku siap terabaikan...

semua karena hati

Sabtu, 14 Maret 2009

Catatan Hati Seorang Restyani Rany


Catatan Hati Seorang Restyani Rany

Saat cinta berpaling dan hati menjelma serpihan-serpihan kecil saat prahara terjadi, saat ujian demi ujian-Nya terasa terlalu besar untuk ditanggung sendiri, kemanakah seorang radya harus mencari kekuatan agar hati mampu terus berjuang untuk sekedar mergerak maju kedepan?

Catatan hati seorang Radya, memuat sebagian kecil peristiwa yang sedikit memilukan dan mungkin saja sanggup membuat orang lain ternganga. Betapa dasyatnya kekuatan yang dimiliki seorang perempuan, sosok yang sering kali dianggap lemah, tidak berdaya, dan pada tataran tertentu sering hanya dianggap makhluk nomor dua.

Begitu banyak perjalanan hidup saya sebagai seorang perempuan dan juga seorang istri. Ini juga pengalaman dan dialog hati, pertanyaan dan ketidakmengertian saya tentang isi kepala dan sikap laki-laki.

Harapan saya catatan hati seorang radya ini bisa membawa siapapun yang membacanya pada kesiapan yang lebih baik, ketika kita mendapat ujian serupa.

Semakin hari saya semakin menyadari kebutuhan dan ketergantungan akan kehadiran sang maha penguasa Allah SWT sedemikian besarnya. Semoga Allah memberi kekuatan bagi semua hamba-Nya, khususnya para perempuan. Amin.


Restyani Rany



Jika Saya Dan Suami Bercerai?


Aku yakin, siapapun tidak akan pernah tahu atau bahkan tidak akan bisa menebak takdir dimasa depan. Apakah sebuah pernikahan yang terangkai begitu indah akan langgeng hingga hanya kematianlah yang sanggup memisahkannya atau tidak.

Sumpah, aku tidak pernah memikirkan itu sebelumnya. Sekalipun aku tahu, rumah tangga yang kami bangun bukan tanpa masalah. Sebagaimana pasangan muda lain, satu dua pertengkaran begitu lumrah rasanya. Lalu kenapa saya mendadak berfikir, kenapa harus sejauh ini..??
Aku sama sekali tidak mengerti. Bagaimana dua orang yang dipersatukan tangan halus Tuhan kini sanggup saling menyakiti?? Bagaimana aku dan dia bisa saling membenci dan mengibarkan bendera permusuhan?? Begitu mudahkah rasa yang telah mengakar tercerabut tanpa bekas??
Untunglah aku masih sedikit lega, setidaknya tak ada yang dikorbankan dalam perpisahan ini. Hanya rasa malu keluarga yang sedikit tercoreng. Jujur, sedikitpun aku tidak bisa membayangkan bagaimana mungkin seorang suami yang terkesan halus dan pendiam mengeluarkan sikap menyerang dan perlu menyakiti. Pergolakan hati seperti apa yang tersirat dari wajah orang tua ku ketika seorang suami mulai memperinci kekurangan, dan keluarganyanya seolah berlomba membongkar aib ku… lantas, kenangan terindah macam apa yang tersisa dibenak suamiku tentang aku?? Kurasa semua telah hilang terhempas rincian kekuranganku yang terdikte.

Aku memaklumi kemarahan suami ku, karena aku memang turut andil dari semua kemarahan yang terungkap. Aku sedikit menyayangkan, ketika kemarahan itu menjadi semakin meluas ketika masalah ini juga diceritakan pihak suami kepada ibunya. Gelombang amarahpun semakin membesar karena dengan cepat persoalan itu sampai ke pihak keluarga besar, sampai detil yang tak pantas dibicarakan.
Julukan istri pembangkang dan istri yang hanya bisa menginjak-injak harga diri suami pun diberikan kepada ku. Sekalipun aku tahu, aku bisa jelaskan ini semua. Benarkah aku seorang istri pembangkang?? Satu hal yang ingin aku tanyakan, apakah benar bila nilai-nilai keimanan harus sanggup ku korbankan ketika seorang suami menginginkan aku turut serta dengan apa yang diyakininya benar sekalipun sanggup membuat aku menduakan Allah?? Bukankah menduakan Allah sama artinya dengan kita tidak percaya dengan kekuatan Allah?? Aku lebih baik dikatakan ‘pembangkang’ daripada aku harus menjual keimanan ku hanya untuk kenikmatan sesaat. Suami ku begitu marahnya kepadaku ketika aku tak lagi sanggup memenuhi ajakannya untuk menyelamatkan perkawinan ini dengan jalan menduakan Allah. Tapi itu tak seberapa bagi ku, satu hal yang membuat hati ku begitu miris. Aku miris mendengar ibu mertuaku dengan lantangnya berkata, karena materi aku menginjak-injak harga diri suami ku. Maaf, harga diri mana yang pernah ku injak-injak. Bagi ku, hanya seorang ibu yang jauh dari kata bijaksana yang sanggup mengungkapkan kalimat-kalimat bodoh yang hanya sanggup memperuncing masalah bukan penyelesaian. Sedikitpun aku tidak pernah berfikir untuk menginjak-injak harga diri suamiku sendiri, aku hanya seringkali berfikir bagaimana aku sanggup mendorong suami ku untuk menjadi seorang suami yang maju dan mandiri, suami yang sanggup menopang rumah tangganya, suami yang sanggup bertanggung jawab atas apa yang telah ia ikrarkan dihadapan Allah. Kalau memang caraku dinilai negative oleh ibu mertua ku, itu hak asasi yang ku berikan padanya. Apapun yang terfikir dihati dan kepala ibu mertua ku, paling tidak aku tahu kalau maksud ku tidak seburuk yang terfikirkan. Keputusan ku untuk menikah adalah murni karena aku ingin menyempurnakan ibadah ku di dunia, bukan karena materi dan segala hal buruk yang mulai terungkap. Hidup akan terasa lebih menyudutkan kalau aku harus selalu berfikir negative, itu yang ku sesali. Bagaimana mungkin seorang ibu yang notabene pekerjaannya adalah seorang pendidik hanya mampu berfikir negative tanpa sanggup sedikitpun memberikan ruang positif kepada seseorang yang terlanjur membuat hati anaknya terasa begitu sakit. Ibu itu tak lagi sanggup berfikir apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana jalan yang terbaik yang seharusnya terucap dari hati bijaksana seorang ibu. Apapun bentuk karakter seorang anak sedikit banyak dipengaruhi oleh apa yang dibentuk oleh ibunya. Syukurlah Allah memberikan aku seorang ibu yang selalu memberi ku energi positive yang membuat ku selalu turut berfikir sedikit bijaksana, sekalipun hanya sedikit setidaknya aku jauh lebih bijak memandang suatu masalah ketimbang apa yang difikirkan oleh ibu mertua ku.
Hati ku memang terluka mendengar setiap kalimat hujatan yang tertuju pada ku. Aku memang marah, dan akhirnya aku berfikir untuk sekedar mewariskan kemarahan-kemarahan itu kepada kedua orang tua ku. Sekalipun aku tahu, kemarahan memang kerap membuat kita kehilangan akal sehat.
Akhirnya sampailah aku dititik dimana aku dan suami ku tidak bisa menebak takdir dimasa depan. Apakah pernikahan kami akan langgeng hingga kematian memisahkan, atau tidak. Tetapi kami sama-sama mengerti, cinta pada pasangan bisa saja hilang. Suami istri bisa berpisah dan berakhir di perceraian.

Pertanyaan Untuk Laki-laki

Bagaimana laki-laki bisa begitu mudah mengucap kata “TALAK”

Pertanyaan ini selalu menggeliat dibenak ku, ketika suatu malam aku bersama orang tua ku ingin memastikan sesuatu kalimat yang telah terangkai dari lidah kelu seorang laki-laki. Aku hanya ingin memastikan bahwa apa yang telah ku dengar itu salah. Suami ku telah menjatuhkan talaknya kepada ku dengan disaksikan oleh orang tua kami berdua. Pada saat itu aku berharap semua yang terjadi hanya suatu salah pengertian, ternyata apa yang terjadi telah di ‘amini’ oleh orang tua suami ku. Aku tahu satu hal besar telah terjadi dalam hidup ku, dan aku mulai tahu siapa sebenarnya orang yang menjadikan aku sebagai pilihan hidupnya. Dia tak ubahnya hanya seorang pengecut yang tak akan pernah sanggup berfikir untuk berjuang melanjutkan hidup. Buatnya, semua hal menjadi mudah ketika ia bisa kapan saja membuang ku dari benaknya hanya untuk sekedar kata “aku laki-laki, kapanpun aku mau aku bisa saja menjatuhkan mu”. Laki-laki bagaikan kacang lupa pada kulitnya, ketika madu itu telah direguknya sekejap itu pula ia sanggup membuangnya. Perempuan bagai pelacur dihadapannya, ia bayar sejumlah mahar lalu ketika keperawanan itu ia reguk, secepat ia memberi mahar itu pulalah ia buang perempuan itu. Sekalipun tak semua laki-laki seperti itu, tapi aku tahu betapa besarnya mental pecundang yang hadir dalam jiwa suami ku sehingga ia sampai hati sanggup berfikir dan bertindak sekejam itu.
Aku merasa tertipu dengan sikap diamnya. Ternyata orang yang menikahi ku tak ubahnya seperti seorang pencuri jahanam yang hanya menginginkan sesuatu yang bisa ia curi. Begitu banyak hal yang ia curi dari ku, tapi aku masih saja belum sanggup untuk melawannya. Bukan karena aku memang tidak sanggup, tapi semua ku lakukan karena aku masih memiliki Allah, tak pernah sedikitpun aku sanggup melakukan sesuatu diluar ketentuan Allah. Dia boleh saja melakukan hal paling buruk terhadap ku, tapi aku tak akan sedikitpun berfikir untuk membuat scenario perlawanan. Biarlah tangan Allah yang bermain mengikuti jejak scenario yang sedang ia rancang dengan begitu rapihnya.
Saat kata talak itu terucap, aku hanya sanggup berfikir. Jika kau kira dengan sebelah sayap aku akan terkoyak, maka camkanlah bahwa dengan sebelah sayap itu akan ku jelajah gunung, ombak-ombak samudera dan gemintang diangkasa.


Sebab Aku Berhak Bahagia

Tepat ketika aku berjuang melawan rasa sakit karena aku memang mengidap suatu penyakit, aku sempat berfikir barangkali sebaiknya aku mati saja. Dengan begitu, selesailah semua penderitaan ku.


Hari ini selesailah sudah seluruh drama rumah tangga ku, ditempat yang paling ku anggap tak mungkin untuk mengakhiri semua ini dihadapan orang tua yang paling ku hormati. Aneh memang!!! Empat bulan itu, yang ku mulai dengan tawa suka cita, pesta pora, dan berkumpulnya segenap keluarga, ku akhiri pada hari ini dengan banjir air mata yang jatuh membasahi relung-relung hati ku, dalam kesepian yang mencekam dan memilukan antara aku dan orang tua ku. Inilah tempat mertua ku, tempat pertemuan ter-ajaib didunia bagi aku dan kedua orang tua ku, yang sanggup membuat perpisahan itu terjadi.
Maka perpisahan itupun dipertegas lagi, papa nya menyatakan bahwa perpisahan kami sah, kami - aku dan ‘bekas’ suamiku – pulang ketempat yang terpisah. Tak akan ada lagi rumah yang menjadi tujuan bersama. Tak ada lagi suami dan istri, yang ada hanyalah pribadi-pribadi, dia dan aku, tak ada lagi ‘kami’.
Ya… perpisahan itu nyata sudah. Statusku kini berubah sudah. Aku bukan lagi istri seseorang. Aku bukan milik siapa-siapa. Aku milik Allah dan … kebebasan. Bahagiakah aku karena aku bebas?? Tidak!!! Tak ada yang membahagiakan dari sebuah perpisahan, yang ada adalah rasa sedih karena semua ini harus terjadi, karena jalan inilah yang dipilihkan suami ku, dan aku merasa harus melakukan sesuatu yang meski halal tapi paling dibenci Allah. Ya!!! Ini adalah sebuah kerusakan. Tapi bahkan kerusakan sekalipun, ketika itu dianggap jalan satu-satunya cara untuk tetap hidup, menghindarkan diri dari kehancuran, untuk kemudian membangun hidup baru yang lebih baik, maka pilihan itupun harus diambil dan dilakukan. Selebihnya memperkuat kesabaran dan berlapang dada menerima segala cobaan.
Maka ketika aku melewatkan malam-malam ku setelah itu dengan menangis, tangis ku bukanlah tangis penyesalan dan kehilangan, apalagi ketakutan. Tidak!!! Tangis ku adalah percampuran antara rasa sedih karena harus mengalami sebuah perpisahan dan gembira karena akhirnya aku berhasil membuat keputusan teramat penting dalam hidup ku. Aku berhasil membuat sebuah pilihan yang meski pahit dan menyakitkan tapi ku tahu merupakan pilihan yang benar agar aku tetap hidup. Hidup yang bahagia. Sebab, aku berhak untuk berbahagia.

Kilas Balik

Sungguh tak pernah terpikir oleh ku, akan beginilah nasib pernikahan yang ku coba untuk memperjuangkannya. Orang yang dulu ku yakini dapat bertanggung jawab atas ku hingga aku rela untuk hidup bersamanya, ternyata setelah pernikahan itu terjadi sanggup menjadi orang yang paling tidak peduli pada ku.
Betapa tipisnya batas antara suka dan tak suka, cinta dan tak cinta. Sikapnya yang semula baik, mulai berubah seiring berjalannya waktu. Ia yang semula begitu kasihan melihat ku bekerja keras, malah menjadi orang yang paling tega membiarkan ku bekerja seharian sekalipun aku dalam keadaan sakit keras dan kemudian menggunakan hasil kerja ku untuk kepentingan rumah tangga kami.
Iya juga kemudian membiarkan aku berjuang seorang diri dalam keadaan sakit yang begitu menyerang rasa sehingga memerlukan dorongan semangat untuk tetap berjuang melawan rasa sakit ini. Anehnya, suami ku sedikitpun tidak tertarik untuk sekedar tahu apa sakit yang tengah ku derita. Suami ku lebih memilih untuk mementingkan keluarganya ketimbang memperdulikan keadaan ku yang kian terpuruk.
Maka begitulah. Perkawinan kami kian aneh saja. Aku yang lebih banyak menafkahi keluarga. Di satu pihak, aku menyadari bahwa rumah tangga ku mulai timpang. Ada ketidakpuasan pada diri ku dengan posisiku dalam rumah tangga. Ada yang salah. Aku iri melihat para istri yang berderet di depan ATM pada hari gajian suami-suami mereka. Aku iri melihat para istri sibuk menyiapkan penganan sore hari untuk suami yang baru pulang bekerja, kemudian duduk bersantai didepan rumah sembari memandangi dan sesekali menertawai kelucuan perilaku anak-anak yang melintas dihadapan kami. Sungguh gambaran yang jauh dari rumah tangga ku.
Aku tak mungkin memprotes suami ku. Tentulah ia punya alasan yang baik, bahwa semua ini untuk kebahagiaan kami. Maka aku terima. Bukankah aku ingin menjadi istri yang baik?? Maka aku tak boleh berpikiran buruk tentang suami ku.
Tak mungkin ia bermaksud jahat dan hanya memanfaatkan ku saja. Bukankah ia suami ku??? Maka ketika pikiran buruk itu dan berbagai prasangka yang ku tujukan pada suami ku datang, segera saja ku singkirkan dari benak ku.
Kadang aku ingin sekali lepas dari situasi itu. Aku tetap ingin menjadi ratu dalam rumah tangga ku, seperti perempuan lainnya. Maka satu pelajaran yang ku petik dari situasi itu adalah, bahwa akulah satu-satunya yang bisa melepaskan diri ku dari himpitan kesulitan ini. Akulah yang harus berusaha. Maka aku bekerja lebih keras, dan mendorong suami ku untuk membuka usaha sampingan.
Sementara itu, hidup kami makin aneh saja. Pada suatu titik, suamiku mulai terlihat berbeda. Bila kami bertemu, ia sering tak memperdulikanku, memarahiku karena hal-hal remeh dan sebagainya.
Tentu aku tak mengatakan bahwa diriku benar. Aku memang salah, sungguh tak ku tampik kenyataan itu. Kekurangmampuan ku menjadi perempuan dan istri yang cermat, efisien dalam mengatur waktu ku, memang tak bisa dibenarkan.
Baiklah!!! Aku ini perempuan. Sudah menjadi tugas ku untuk mengatur semua urusan rumah tangga. Ketika suami ku menegurku dengan cara mendiamkan ku berlama-lama, tak menerima maaf ku meski aku menangis. Ketika itu ku pikir, baiklah… aku memang salah. Tentu seorang suami berhak memarahi istrinya. Maka akupun membiarkannya mendiamkanku beberapa hari bahkan berminggu-minggu. Hingga lama-lama aku terbiasa dengan cara itu, bahkan ketika ia mendiamkan ku karena kesalahan yang tak jelas. Ku pikir, sebagai istri aku harus menurut dan menerima. Barangkali memang begitu jugalah para suami lainnya ketika memarahi istrinya.
Kupikir, barangkali ego kelelakiannya telah ku singgung sebab materi yang ku miliki lebih besar dibandingkan dengan apa yang dimilikinya. Barangkali ia cemburu dan begitulah caranya menyalurkan kecemburuannya, tapi disatu pihak ia tak sanggup menghidupi kami. Berpikir seperti itu membuatku kasihan padanya.

Bercerai atau menderita

Aku terombang-ambing dalam keadaan tanpa keputusan. Aku terpuruk, tenggelam dalam kekalutan dan kesedihan yang amat sangat. Akupun memperbanyak doa dan sholat malam, memohon pada Allah agar diberi petunjuk.
Sidang keluargapun disiapkan, hingga sanggup membuatku begitu ketakutan. Belum pernah aku merasa begitu terhina dan menderita karena suami ku harus menceritakan aib ku dihadapan orang-orang yang ku kenal dan ku hormati.
Belum lagi kenyataan bahwa orang yang tengah membongkar aib rumah tangga kami adalah orang yang telah menjadi kepala rumah tangga. Bagaimana mungkin semua ini terjadi?? Aku merasakan kesedihan yang teramat hebat, hingga tak jarang ingin rasanya ku teteskan air mata ini. Akupun memilih untuk lebih banyak menyampaikan pembelaan dan pengakuan dengan logika dan hati.
Sejak itu, aku tak lagi membiarkan diriku tenggelam dalam siksaan rasa bersalah. Aku banyak berdoa, banyak sholat malam dan lebih memasrahkan diri pada Allah. Ku pandangi orang tua dan adik-adik ku, melihat wajah mereka, akupun ‘terjaga’ dari tidur ku selama ini. Jika aku jatuh dan terpuruk, bagaimana dengan mereka?? Jika aku tenggelam dalam kesedihan, siapa yang akan menggembirakan mereka?? Akulah satu-satunya harapan mereka. Aku telah menciptakan situasi ini. Menangis sungguh tak akan membawa hasil apa-apa. apa yang telah terjadi adalah menjadi bagian dari hidup yang harus ku hadapi. Allah lebih tahu apa yang terbaik bagi ku. Jika ini yang terbaik, maka aku terima dengan lapang dada.
Akupun sampai pada kesadaran, bahwa aku adalah orang yang ‘terpilih’ untuk menerima ujian ini. Mengapa aku?? tentunya karena Allah tahu sesuatu yang aku tak tahu. Maka aku tak lagi mempertanyakan mengapa Allah menimpakan ujian ini.
Semangat hidupku bangkit lagi. Aku kian giat berusaha dan bermunajat pada Allah. Dalam doa, aku meminta agar Allah menghilangkan rasa bersalah, kegelisahan dan ketidaktenangan dari dalam jiwaku.

Jalan masih panjang

Dan begitulah… Allah sungguh maha adil. Ketika saat-saat sedih datang menyesaki dada, aku banyak mengadu pada Allah dalam sholat-sholat malam yang panjang. Aku tumpahkan seluruh beban dan air mata ini hanya kepada Allah. Sebab Dia sebaik-baiknya pendengar. Dari apa yang ku jalani, akupun banyak belajar. Salah satunya adalah, bahwa akulah satu-satunya yang mampu membuat keputusan untuk hidupku, atas pertolongan Allah. Bahwa sebenarnya, akulah yang paling mengerti apa yang kubutuhkan, apa yang kurasakan, apa yang harus kulakukan. Bahkan keluarga terdekat sekalipun, tak dapat sepenuhnya mengerti perasaanku. Akan ada masanya mereka merasa jenuh mendengar keluh kesah ku, sementara masih begitu banyak yang ingin ku keluhkan, seolah tak pernah ada habisnya. Dari situlah aku mengerti, bahwa hanya dirikulah yang bisa mengendalikan perasaanku dengan cara bersabar dan bertawakal. Dan hanya Allah sebaik-baik tempat mengadu.
Pengalaman ini juga memperkuat apa yang selama ini ku yakini, bahwa bagaimanapun, sebaiknya perempuan haruslah mandiri dan bekerja. Tentu tak harus bekerja diluar rumah jika itu memang menyulitkan. Bekerja dari rumah dan menghasilkan sesuatu bagi dirinya sendiri, merupakan hal yang baik untuk memupuk kemandirian serta kesiapan mental ketika terjadi musibah. Bukan hanya karena perpisahan, tetapi untuk menghadapi saat-saat ketika suami tak ada dirumah, entah karena berpergian, jatuh sakit yang tak memungkinkannya bekerja, kecelakaan atau bahkan meninggal dunia.
Semua pengalaman ini membuat ku yakin, bahwa sebenarnya perempuan mampu bila keadaan memaksa untuk hidup dan berjuang sendirian. Keteguhan serta keberanian serta kegigihan dan kesabaran untuk tetap berjuang dan bertahan hidup demi diri sendiri dan keluaraga adalah senjata yang sangat ampuh, yang rasanya wajib dimiliki oleh seorang perempuan.
Tentu, tak seorang perempuanpun ingin diceraikan, tak seorang perempuanpun ingin berjuang sendirian, dan menginginkan menjadi janda. Tapi ketika semua itu harus terjadi, karena takdir ilahi, maka seorang perempuan paling lemah sekalipun, harus siap memanggul beban dipundak. Sebab perempuan berhak sekaligus berkewajiban untuk berusaha dalam hidup. Tetap kuat dan sabar menjawab setiap tantangan, tetap terpacu untuk mencari kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebab, perempuan juga berhak bahagia. Dan aku berhak bahagia, sebab aku juga seorang perempuan dan seorang hamba Allah. Insya Allah.





















Selasa, 03 Februari 2009

Curhat Buat Sahabat

sahabatku, usai tawa ini
izinkan aku bercerita

telah jauh, ku mendaki
sesak udara diatas puncak khayalan
jangan sampai kau disana

telah jauh, ku terjauh
pedihnya luka di dasar jurang kecewa
dan kini sampailah, aku disini...

yang cuma ingin diam, duduk ditempatku
menanti seorang yang biasa saja
segelas air ditangannya, kala kuterbaring... sakit
yang sudi dekat, mendekap tanganku
mencari teduhnya dalam mataku
dan berbisik: "pandang aku, kau tak sendiri..."
dan demi tuhan, hanya itulah yang itu saja kuinginkan

telah lama, kumenanti
satu malam sunyi untuk kuakhiri
dan usai tangis ini, aku kan berjanji...

untuk diam, duduk ditempatku
menanti seorang yang biasa saja
segelas air ditangannya, kala kuterbaring...sakit
menentang malam, tanpa bimbang lagi
demi seorang aku yang lelah bermimpi
dan berbisik: "selamat tidur, tak perlu bermimpi bersamaku..."

wahai Tuhan, jangan bilang lagi itu terlalu tinggi

(ini syair lagu punya dee, tapi kata-katanya gue banget, dualemmm abizzz buat gw yang cuma bisa mimpi kalo gw bisa juga punya seorang sahabat yang tergambar lewat syair lagu itu)

Sabtu, 31 Januari 2009

teman


bila aku membenci mu

apa arti persaudaraan yang kita kokohkan bersama???


bila aku telah terlalu dalam menyakiti mu

apa arti hari-hari kebersamaan yang kita lalui kala itu???


bila aku sanggup melakukan segala hal sendiri

apa arti curahan hati pembangkit jiwa rapuh ini???


bila aku dapat menutup hati & diri ini

apa arti persahabatan yang terjalin begitu dalam???


haruskah aku biarkan semua seperti ini???

hilangkan seorang sahabat membunuh sepi dan sembunyi sendiri tanpa mengenang suatu hal untuk sanggup kembali


ini tak mudah bagi jiwa, percaya???!!!!

Kamis, 22 Januari 2009

Tak Ingin Dilupakan

Aku bagaikan ada disaat yang terendah. menjadi bagian kisah terhempas dari cinta. tersiksa hati ku yang telah dinikmati orang lain. menjadi bagian tawa dan cemooh semua orang.

"Dengarlah curahan hati dari orang yang tak mau putus asa dan tak ingin dilupakan."

Menepis hari yang sedih membuat ku lupa akan arti harga diri, caci makilah atau kau buat ku tersenyum, menghadapi kenyataan.

"Angkat kepala yang tertunduk malu terasa berat, melawan sendiri arus kemenangan orang lain."

Menepis hari yang sedih, andaikan berdiri ditepi ruang batin ku, tolonglah aku atau kau raih tangan ini, tuk hadapi kenyataan.